Tuesday, December 23, 2003

Natal dan Solidaritas

Kerlip pohon Natal. Kidung “Silent Night”. Sinterklas.
Dan sementara kesibukan persiapan Natal melingkupi
umat Kristiani seluruh dunia, inilah saat yang tepat
bagi mereka--meminjam kata-kata Paus Johanes Paulus
II--menyiapkan jiwa untuk mengalami secara intens
“misteri keyakinan yang akbar”.

Memahami makna sejati Natal, menurut pemimpin Gereja
Katolik itu, adalah merenungkan secara mendalam sikap
dan reaksi Bunda Maria ketika menyambut kelahiran bayi
Kristus: ”rendah hati, diam, kagum dan suka-cita
sekaligus”.

“Beliau menunjukkan kepada kita betapa bernilainya
kebisuan, kesediaan untuk mendengar kidung malaikat
dan tangis bayi,” kata Paus Paulus. “Bersama Bunda
Maria, marilah kita mengheningkan cipta membayangkan
kelahiran Kristus dengan kekaguman yang khusuk,
mensyukuri keceriaan yang murni dan sederhana yang
dibawa anak-anak untuk kemanusiaan.”

Pesan yang universal itu tak hanya bisa diterima kaum
Kristiani non-Katolik tapi juga umat agama lain:
Islam, Hindu, Buddha, Shinto, Konghucu dan Yahudi.

Natal, pada dasarnya, adalah tentang introspeksi. Dan
mungkin solidaritas: kesediaan untuk mendengar,
termasuk mendengar tangis manusia di kejauhan, di
lorong-lorong ketidakberuntungan, di kubangan
kemiskinan dan di tengah bau anyir konflik berdarah.

Di Liberia atau Rwanda, anak-anak Kristiani tak bisa
menikmati musik indah Natal di jalanan, radio, dan
televisi. Juga di Palestina, Irak dan Irlandia. Di
daerah kumuh Amerika Latin, di emperan pencakar langit
New York. Dan bahkan di kamp-kamp pengungsi Poso,
Ambon atau Timor.

Solidaritas adalah mengingat mereka yang tak bisa
sepenuhnya mempersiapkan kelahiran bayi Kristus dalam
jiwa mereka. Mereka yang tiada kegembiraan bepergian
mengunjungi kerabat dan teman, ketika ornamen kertas
yang indah warna-warni di rumah mereka hanya impian.
Dan sementara makanan tradisional terlezat di malam
sebelum Natal hanya sebuah fatamorgana.

Tapi, seperti pada Bunda Maria, manusia tak perlu juga
hanya mendengar tangis. Dia juga bisa mendengar kidung
malaikat. Dengan kata lain, dia tak layak terkungkung
hanya dalam kemurungan dan pesimisme, namun juga
terbangkitkan oleh optimisme. Optimisme mewakili
harapan akan dunia yang lebih baik, tidak hanya bagi
umat Kristiani tapi juga bagi seluruh umat manusia.
Optimisme adalah bahan bakar bagi kemanusiaan untuk
bergerak maju.

Konflik, kemiskinan dan tragedi adalah bagian dari
kemanusiaan. Ada di mana-mana dan sepanjang masa. Yang
membuat berbeda adalah apa tanggapan kita terhadap
semua sumber kepedihan itu. Solidaritas akhirnya tak
bisa berhenti hanya pada empati dan kesediaan
memahami. Dia juga menuntut aksi dan pengorbanan. Hal
yang telah ditunjukkan kepada umat Kristiani melalui
peri hidup Kristus.

Selamat Natal dan Tahun Baru 2004.***

Natal dan Solidaritas

Kerlip pohon Natal. Kidung “Silent Night”. Sinterklas.
Dan sementara kesibukan persiapan Natal melingkupi
umat Kristiani seluruh dunia, inilah saat yang tepat
bagi mereka--meminjam kata-kata Paus Johanes Paulus
II--menyiapkan jiwa untuk mengalami secara intens
“misteri keyakinan yang akbar”.

Memahami makna sejati Natal, menurut pemimpin Gereja
Katolik itu, adalah merenungkan secara mendalam sikap
dan reaksi Bunda Maria ketika menyambut kelahiran bayi
Kristus: ”rendah hati, diam, kagum dan suka-cita
sekaligus”.

“Beliau menunjukkan kepada kita betapa bernilainya
kebisuan, kesediaan untuk mendengar kidung malaikat
dan tangis bayi,” kata Paus Paulus. “Bersama Bunda
Maria, marilah kita mengheningkan cipta membayangkan
kelahiran Kristus dengan kekaguman yang khusuk,
mensyukuri keceriaan yang murni dan sederhana yang
dibawa anak-anak untuk kemanusiaan.”

Pesan yang universal itu tak hanya bisa diterima kaum
Kristiani non-Katolik tapi juga umat agama lain:
Islam, Hindu, Buddha, Shinto, Konghucu dan Yahudi.

Natal, pada dasarnya, adalah tentang introspeksi. Dan
mungkin solidaritas: kesediaan untuk mendengar,
termasuk mendengar tangis manusia di kejauhan, di
lorong-lorong ketidakberuntungan, di kubangan
kemiskinan dan di tengah bau anyir konflik berdarah.

Di Liberia atau Rwanda, anak-anak Kristiani tak bisa
menikmati musik indah Natal di jalanan, radio, dan
televisi. Juga di Palestina, Irak dan Irlandia. Di
daerah kumuh Amerika Latin, di emperan pencakar langit
New York. Dan bahkan di kamp-kamp pengungsi Poso,
Ambon atau Timor.

Solidaritas adalah mengingat mereka yang tak bisa
sepenuhnya mempersiapkan kelahiran bayi Kristus dalam
jiwa mereka. Mereka yang tiada kegembiraan bepergian
mengunjungi kerabat dan teman, ketika ornamen kertas
yang indah warna-warni di rumah mereka hanya impian.
Dan sementara makanan tradisional terlezat di malam
sebelum Natal hanya sebuah fatamorgana.

Tapi, seperti pada Bunda Maria, manusia tak perlu juga
hanya mendengar tangis. Dia juga bisa mendengar kidung
malaikat. Dengan kata lain, dia tak layak terkungkung
hanya dalam kemurungan dan pesimisme, namun juga
terbangkitkan oleh optimisme. Optimisme mewakili
harapan akan dunia yang lebih baik, tidak hanya bagi
umat Kristiani tapi juga bagi seluruh umat manusia.
Optimisme adalah bahan bakar bagi kemanusiaan untuk
bergerak maju.

Konflik, kemiskinan dan tragedi adalah bagian dari
kemanusiaan. Ada di mana-mana dan sepanjang masa. Yang
membuat berbeda adalah apa tanggapan kita terhadap
semua sumber kepedihan itu. Solidaritas akhirnya tak
bisa berhenti hanya pada empati dan kesediaan
memahami. Dia juga menuntut aksi dan pengorbanan. Hal
yang telah ditunjukkan kepada umat Kristiani melalui
peri hidup Kristus.

Selamat Natal dan Tahun Baru 2004.***