Wednesday, July 14, 2004

"Persatuan", Sebuah Kata yang Menindas

Ada kontradiksi dalam Bhinneka Tunggal Ika. Konsep
itu hanya bisa diwujudkan lewat toleransi, bukan
peleburan.


“Hanya dengan persatuan umat Islam bisa berjaya
kembali,” begitulah kata khatib khutbah Jumat yang
sering kita dengar. Sebuah organisasi Islam, Majelis
Mujahidin, belum lama ini meminta stasiun televisi
menarik iklan layanan masyarakat bertemakan “Islam
Warna-Warni” yang dianggap melecehkan. “Islam itu
satu, tidak berwarna.”

“Persatuan dan kesatuan adalah modal utama kemerdekaan
Indonesia.” Begitulah bunyi spanduk jalanan untuk
memperingati proklamasi kemerdekaan hari-hari ini.
“Hanya dengan persatuan, Indonesia bisa menyelesaikan
krisis dan keluar dari kemelutnya.” Presiden Megawati
Soekarnoputri menggaungkan tema itu dalam berbagai
kesempatan.

Persatuan! Sayangnya, persatuan adalah kata yang
problematis, baik dalam agama maupun nasionalisme.

“Satu Islam” adalah ilusi. Sejarah Islam menyaksikan
betapa perbedaan menafsirkan Islam sudah berlangsung
hanya sebentar setelah Rasulallah Muhammad wafat.
Silang-sengketa bahkan sempat menumpahkan darah. Tiga
dari empat khalifah pertama tewas terbunuh.

Dan berabad kemudian, bersama menyebarnya Islam ke
berbagai pelosok dunia, kita menyaksikan Islam yang
demikian beragam. Ada dua aliran besar dalam Islam:
Sunni dan Shiah. Dalam Sunni sendiri ada empat mazhab
yang dikenal. Ahmadiyah, salah satu sekte yang populer
di Pakistan, punya dua pecahan: Lahore dan Qadian. Ada
ratusan kelompok tarekat (sufi) di seluruh dunia yang
masing-masing boleh dikatakan khas. Bercampur dengan
politik dan tradisi, kita juga mengenal dua organisasi
besar Islam di Indonesia yang berbeda watak: Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah.

Bagi orang Muhammadiyah, hanya ada “satu Islam”
seperti yang dipahaminya. Demikian pula bagi kaum
Nahdlyin. Bagi orang Iran, Shiah adalah “Islam yang
satu” seperti bagi orang Malaysia Sunni itu “Islam
yang satu” pula.

Islam tidak unik dalam keragamannya. Semua
agama--Yahudi, Kristen, Buddha dan Hindu--mengenalnya.
Tidak unik pula bahwa, dibaurkan oleh kepentingan
politik, ekonomi dan identitas budaya, masing-masing
pecahan agama saling bersaing untuk merebut pengaruh.
Minus perang dan persengketaannya yang berdarah,
keragaman mazhab dalam satu agama itu adalah keindahan
sekaligus keniscayaan.

Islam, seperti ditunjukkan oleh sejarahnya, adalah
berwarna. Bukan berarti masing-masing mazhab dan
aliran tak bisa bekerjasama atau “bersatu”. Tapi, itu
hanya mungkin dipahami lewat kesediaan untuk menerima
ambiguitas manusia: “Kita mempercayai sesuatu yang
mutlak, tapi menoleransi kemungkinan orang lain
mempercayai kemutlakan berbeda.”

Menerima kemutlakan sekaligus mengakui relativitas
adalah keniscayaan orang dalam beragama seraya bisa
hidup berdamai dengan manusia lain.

Memaksakan “satu Islam” kepada semua penganut Islam,
sebaliknya, tentulah menyalahi watak toleransi Islam.
Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap yang
“satu” hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan,
seringkali lewat kekuasaan senjata, dan itu menyalahi
konsepsi Islam yang dasar, bahwa “tidak ada paksaan
dalam agama”.

Islam juga tidak unik dalam sejarahnya yang seringkali
diwarnai darah. Gereja Katolik dan kaum Protestan
telah memanfaatkan kolonialisme—penindasan ekonomi,
politik dan senjata—untuk menyatukan umat manusia di
bawah Kristus yang satu. “Persatuan” yang bersifat
menindas bahkan berlaku hampir dalam semua ideologi,
termasuk komunisme dan nasionalisme.

“Satu Indonesia”, dalam konteks sejarah nasional
Indonesia, telah berulangkali menjadi sarana untuk
menindas. Pada zaman Demokrasi Terpimpin, Presiden
Soekarno yang terobsesi dengan persatuan telah
menjadikan slogan “persatuan dan kesatuan” menjadi
dalih untuk memberangus partai politik. Begitu pula
dengan Rezim Soeharto yang memanfaatkan “asas tunggal
Pancasila” untuk membungkam suara-suara berbeda. Dan
pada tahun-tahun terakhir, slogan yang sama dipakai
pula oleh kaum nasionalis di PDI Perjuangan dan kaum
militer untuk menolak federalisme.

Negeri kita memang mengenal konsep “Bhinneka Tunggal
Ika” atau “berbeda-beda tapi satu”. Tapi dalam
berbagai zaman, kita cenderung memakai “ika” untuk
memberangus “kebhinnekaan”; keseragaman untuk membunuh
beragam aspirasi politik dan budaya.

Seperti dalam agama, penyeragaman interpretasi
terhadap ideologi negara hanya dimungkinkan lewat
pemaksaan, penahanan, pembunuhan, dan penindasan
budaya. Pada 1960-an kita memaksa orang-orang
keturunan Tionghoa, misalnya, untuk mengganti nama
mereka dengan nama Jawa, Sunda atau Batak serta
melikuidasi budaya dan keyakinannnya demi “persatuan”.
Melihat kerusuhan Mei 1998, ketika Orde Baru rontok,
kita baru menyadari bahwa pembauran seperti itu hanya
bersifat permukaan dan bahwa perbedaan tetap berakar
jauh di alam bawah sadar.

Persatuan memang diperlukan, terutama ketika negeri
menghadapi krisis. Tapi, persatuan hakiki hanya
mungkin berlangsung jika masing-masing pihak mengakui
perbedaan seraya menyadari pentingnya bekerja sama
untuk mewujudkan kepentingan bersama. Itulah pula
esensi dari persatuan yang muncul dalam Sumpah Pemuda
1928. Persatuan bukanlah peleburan.

Jika kita berpendapat bahwa persatuan dalam makna
peleburan merupakan kunci kemerdekaan Indonesia, kita
layak untuk menyimak kembali perdebatan 1930-an antara
Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir di satu pihak dengan
Soekarno di pihak lain.

Pada waktu itu, Soekarno yang terobsesi oleh persatuan
menginginkan partai-partai politik bergabung dalam
wadah tunggal Permufakatan Pehimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia. Hatta tidak sependapat. Bagi dia
perhimpunan itu tidak perlu menjadi satu organisasi
tunggal melainkan sebaiknya menjadi cikal bakal
parlemen Indonesia merdeka. Parlemen yang mengakui
keragaman partai-partai.

Konsep kemerdekaan Indonesia, bagi Hatta yang
cenderung demokrat dan federalis, tidak ada kaitannya
dengan “peleburan atau penyatuan pemikiran politik”.
Sjahrir mendukung Hatta dan berpendapat bahwa tiap
persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer dan
oleh karena itu insidental. Usaha untuk menyatukan
bagian-bagian secara paksa hanya akan menghasilkan
"anak banci". Persatuan seperti itu, menurut Sjahrir,
hanya akan menjadi "sakit, tersesat dan merusak
pergerakan".

Orang memang cenderung melihat perbedaan sebagai
perpecahan. Keliru. Ekosistem yang kuat di alam
dipelihara oleh kebhinnekaan “spesies”-nya. Makin
beragam spesies di dalamnya, makin stabil ekosistem
itu. Hutan tropis Kalimantan akan segera punah jika
semua lumut dan ganggang dipaksa menjadi pohon jati
yang seragam. Sama pula dengan Indonesia.

“Bhinneka Tunggal Ika” hanya akan menjadi konsep yang
efektif lewat toleransi atas perbedaan, bukan
peleburan. Itu tidak hanya berlaku untuk Islam, tapi
juga untuk Indonesia.***


Globalisasi: Satu Dunia yang Menindas

TIDAK hanya dalam agama dan nasionalisme, penyeragaman
kini juga menjadi kecenderungan dalam kata
globalisasi: satu dunia. Dalam beberapa tahun terakhir
orang membicarakan integrasi negara-negara dunia dalam
sebuah sistem ekonomi tunggal.

Tapi, sementara dunia kita memang terasa makin sempit
dan menyatu berkat teknologi komunikasi, kampanye
globalisasi yang disorongkan oleh negara-negara maju
sering menyembunyikan watak hegemoni, watak kekuasaan
yang memaksa dan menindas.

Globalisasi ekonomi sering diartikan sebagai penyatuan
ekonomi dunia di bawah sistem kapitalis tunggal.
Negara-negara kehilangan batas. Kebijakan-kebijakan
diseragamkan, lewat peran Dana Moneter Internasional
(IMF) dan Bank Dunia.

Sayang, itu sering hanya merupakan tipuan. Alih-alih
mempromosikan kerjasama internasional, globalisasi
telah dipakai sebagai sarana untuk memaksakan masuknya
produk asing ke pasar di negara-negara miskin.

Menurut laporan Program Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNDP) terakhir, negara-negara maju
memberikan dana subsidi kepada petani mereka enam kali
lebih banyak dari dana bantuan yang mereka berikan
kepada negeri miskin. Sementara mereka mengkampanyekan
liberalisasi ekonomi dan pembukaan pasar, mereka
membuat pasarnya sendiri tertutup.

Globalisasi budaya dan penyeragaman gaya hidup menjadi
sumber keresahan lain di luar aspek ekonomi. Kemajuan
teknologi komunikasi dan penyiaran telah memungkinkan
CocaCola dan Hollywood merasuk hingga desa-desa miskin
Afrika dan Asia. Retaknya jalinan keluarga dan
hancurnya khasanah “local genius” (kearifan lokal)
menjadi kekhawatiran banyak orang. Konflik antara
pendukung penyeragaman dan pelestari keragaman,
mengambil bentuknya yang berdarah, sering tak
terhindarkan.

Itu diamplifikasi dan diperumit oleh globalisasi
politik, khususnya yang dipromosikan oleh Amerika
Serikat. Hari-hari ini, Amerika ingin menegaskan
dirinya sebagai globo-cop, polisi dunia, yang bisa
masuk ke mana saja tanpa izin negara bersangkutan
untuk “memburu teroris”.

Pernyataan Presiden George W. Bush belum lama ini,
“bergabung bersama kami atau menjadi musuh kami”,
adalah contoh lain betapa “persatuan” cenderung
bersifat hegemonik dan memiliki watak menindas.

"Busway" dan Kota yang Absurd

Tindakan yang rasional menurut ukuran individu
seringkali menjadi absurd dalam skala sosial sebuah
kota. Ini tidak hanya berlaku dalam soal transportasi
perkotaan, tapi juga dalam manajemen air bersih dan
sampah.


Meski warga kota masing-masing punya andil, pemerintah
kotalah yang paling bertanggungjawab untuk membuat
kebijakan dan peraturan agar kehidupan kolektif
berlangsung nyaman, murah dan efisien.

Namun, Pemerintah Kota Jakarta nampaknya tidak
benar-benar menyadari hal ini. Kita lihat misalnya
dalam soal kebijakan transportasi. Pemerintah kini
tengah mengerjakan "busway", yang akan segera disertai
dengan kebijakan "three-in-one" lebih ketat dan lebih
lama (tidak hanya pada jam-jam sibuk).

Pada dasarnya, ini merupakan kebijakan bagus. Ide
dasar pembangunn "busway" antara Blok M dan Kota
adalah mengurangi penggunaan mobil pribadi dan
menggantinya dengan trasportasi umum. Hal ini selaras
dengan saran pakar lingkungan Prof. Otto Soemarwoto
pada awal 2001.

Secara konsep, kebijakan ini memang layak didukung.
Sistem transportasi Jakarta akan selamanya parah jika
tidak ada reorientasi radikal dari sistem yang
memanjakan penggunaan mobil pribadi ke sistem angkutan
umum.

Memang rasional jika orang memilih bepergian
mengendarai mobil pribadi, yang cepat dan nyaman.
Tapi, ketika orang berlomba-lomba memakai mobil
pribadi, karena tiadanya alternatif lain, yang terjadi
adalah kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas.

Jelas tidak nyaman, apalagi cepat. Belum lagi kita
memperhitungkan pemborosan bahan bakar, pencemaran
udara serta menyusutnya lahan hijau untuk memberi
ruang pada aspal jalanan.

Mobil pribadi tidak efisien dan boros bahan bakar.
Sedan, misalnya, menghabiskan energi per km per
penumpang lebih rakus dari pesawat udara, kereta api,
dan bus antarkota.

Kebijakan pemerintah kota yang memanjakan penggunaan
mobil pribadi juga hanya memicu lingkaran setan:
jalan-jalan baru, yang tadinya dibangun untuk
memecahkan problem kemacetan, hanya mengundang lebih
banyak mobil baru yang akhirnya membuat kemacetan
baru.

Meski bagus, konsep "busway" ini sayangnya tidak
diterapkan secara komprehensif. Pemerintah, misalnya,
tidak memikirkan bagaimana menyediakan kawasan parkir
yang memadai agar orang bisa menitipkan mobilnya di
situ dan bepergian dalam kota menggunakan bus khusus.

Bahkan konsep "busway" itu sendiri sebenarnya hanya
solusi parsial dan karenanya tidak banyak gunanya jika
dilihat secara keseluruhan. Gubernur Sutiyoso masih
terlalu memprioritaskan pengguna mobil pribadi dengan
pembangunan jalan layang (Kuningan dan Pancoran) serta
under-pass (Pramuka dan Cawang). Juga tidak ada
kenaikan pajak signifikans terhadap mobil pribadi
seperti diusulkan Prof. Otto.

Artinya, tidak ada upaya yang benar-benar terpadu
untuk mengubah secara radikal sistem transportasi.

Dan jika begitu, proyek "busway" ini sebenarnya hanya
merupakan obyekan baru untuk memanfaatkan dana publik
Rp 120 milyar ketimbang merupakan solusi serius
pemerintah kota dalam menjawab problem kolektif yang
dihadapi publik.

Dilema Arroyo, Kecaman Buat Bush

Ketika para demonstran di Manila menuntut pasukan
Filipina ditarik dari Irak, mereka tidak hanya sedang
peduli pada nasib Angelo de la Cruz, seorang sopir
truk yang disandera gerilyawan Irak. Mereka memprotes
perang ilegal yang dipaksakan Presiden Amerika Serikat
George W. Bush di Timur Tengah.


Pemerintah Filipina belum memutuskan sikap terhadap
ancaman para gerilyawan yang bersumpah akan membunuh
de la Cruz jika negeri itu tidak mempercepat penarikan
pasukannya sebulan lebih awal, yakni pada 20 Juli ini.
Seorang pejabat teras kementrian luar negeri Filipina
memang menyatakan pasukannya “akan segera
ditarikmundur”. Namun, pernyataan ini belum memperoleh
konfirmasi dari istana presiden.

Bagaimanapun, membesarnya tuntutan publiknya sendiri
jelas akan menghadapkan Presiden Gloria Macapagal
Arroyo pada dilema. Filipina adalah kawan dekat
Amerika Serikat, satu dari sedikit negeri yang
berhasil dibujuk Pemerintah Bush untuk menyetujui
agresi ke Irak—-meski dengan dalih yang kini terbukti
bohong belaka. Tapi, penarikan mundur pasukannya akan
membuat tegang hubungan kedua negeri; bukan mustahil
Filipina juga bakal kehilangan “lisensi bisnis”
pembangunan kembali Irak.

Tuntutan para gerilyawan Irak jelas hanya bersifat
simbolis. Namun terbukti efektif. Jumlah tentara
Filipina di Irak sebenarnya tidak ada artinya—hanya 51
orang dari sekitar 150.000 personil koalisi yang
didominasi Amerika. Tapi, ada sekitar 4.000 warga
sipil Filipina yang memperoleh pekerjaan di
pangkalan-pangkalan militer Amerika di Irak.

Jika Filipina menyerah pada tuntutan para gerilyawan,
maka ini merupakan pukulan telak tak hanya bagi
Presiden Gloria Macapagal Arroyo, tapi terutama bagi
Presiden Bush. Filipina merupakan negeri terakhir yang
dipaksa mundur setelah belasan negeri pendukung
Amerika lainnya juga mempertimbangkan akan menarik
pasukan. Dukungan kepada Amerika, yang sejak awal
memang semu, kini semakin luntur.

Kasus Filipina ini menunjukkan betapa publik lebih
bijaksana dari pemerintahan mereka dalam menyikapi
agresi ke Irak. Banyak negeri mendukung Amerika bukan
demi “memberantas terorisme dan menyebarkan
demokrasi”, tapi alasan pragmatis menangguk bisnis
kolonialisme Amerika di Irak. Kini terbukti, meski
banyak orang ingin bisa berbisnis dan memperoleh
pekerjaan, mendukung Amerika dalam perang amoral itu
jauh lebih mahal harganya.

Di Spanyol, publik pemilih menjatuhkan pemerintah
pro-Amerika dan menggantikan pemerintah yang akhirnya
menarik pasukannya dari Irak. Di Australia, pemimpin
oposisi dari partai Buruh bersumpah akan menarik
pasukannya jika Perdana Menteri John Howard tergusur
melalui pemilu akhir tahun ini. Pemerintah Korea
Selatan dan Jepang juga menghadapi tekanan serupa dari
publiknya sendiri.

Menarik mengamati betapa publik demonstran
anti-perang, dari Manila hingga Madrid, dari Seoul
hingga Canberra, hanya sedikit mengecam gerilyawan
Irak yang menyandera warga sipil, yang bisa
dikategorikan tindakan terorisme. Mereka cenderung
menyalahkan pemerintahnya yang membebek pada Tuan
Bush. Ini sebuah pernyataan simbolis tentang betapa
gagalnya Amerika dalam “perang melawan terorisme” dan
betapa kata terorisme lebih pas diterapkan pada
perilaku Amerika sendiri di Irak.

Barthez, Zen dan Poker

Menang atau kalah, membuat blunder atau tidak, Fabien Barthez bukanlah “Si Badut”—julukan melecehkan untuk kiper kesebelasan Prancis ini.

Dalam pertandingan perdana melawan Inggris, Zinedine Zidane lah memang yang menyarangkan dua gol kemenangan. Tapi, sebenarnya Barthez lah yang patut diacungi jempol. Dia berjasa mengangkat moral dan menumbuhkan harapan timnya setelah menyelamatkan gawangnya dari tembakan penalti David Beckham. Bukankah permainan belum benar-benar bisa disimpulkan sampai peluit panjang berbunyi?

Mengambil Barthez, Pelatih Jacques Santini telah mengambil risiko ditertawakan masyarakat sepakbola Eropa tapi dia tidak keliru. Barthez belum ternyata berhenti jadi “jimat” kesebelasan Prancis.

Nama Barthez sudah terlanjur buruk di Inggris. Manchester United mencampakkannya. Julukan “The Clown” diberikan kepadanya untuk sejumlah kesalahan konyol yang sering dilakukan di klub itu. Fans Manchester tak bisa melupakan kesalahan yang dibuatnya, ketika kalah melawan West Ham di Piala FA atau kebobolan gol Arsenal di Liga Utama. Dan ketika Manchester kalah memalukan dari Deportivo La Coruna di ajang Piala Champion, bahkan koran Spanyol pun ikut meledeknya sebagai “Badut di Teater Impian”.

Sementara Inggris menjadi kutukan, Barthez sebenarnya tidak memperoleh pujian yang layak sebagai satu dari sedikit kiper dengan prestasi gemilang: turut serta mempersembahkan bagi timnya Piala Dunia (1998), Piala Eropa (2000) dan Piala Champion (Marseille, 1993).

Bagaimanapun, dia memang lucu, atau lebih tepatnya unik di tengah makin keringnya dunia sepakbola dari “kegilaan”. Setelah kiper Meksiko Kiper Meksiko Jorge Campos atau kiper Swedia Thomas Ravelli hilang dari peredaran, Barthez mungkin sedikit dari kiper yang tidak enggan mengambil risiko men-dribble bola di luar kotak penalti.

Ketika sepakbola menjadi “sains” dan mengunggulkan ketrampilan “klinis”, Barthez juga menjadi istimewa. Dia pernah punya tradisi unik menyediakan kepala plontosnya sebagai jimat bagi kesebelasan Prancis, mempersilakan kapten Laurent Blanc mencium jidatnya sebelum pertandingan. (Setelah Blanc pensiun, tak ada pemain Prancis berani menunaikan tradisi itu, takut kualat.)

Tapi, gambaran tentang “Badut” sirna jika dia sudah bicara lebih pribadi. Seperti aktor Richard Geere, Barthez kagum pada ajaran Zen Buddha dan membuat dia nampak lebih suka membicarakan aspek psikologis dari permainan ketimbang aspek strategi dan ketrampilan teknis.

“Setelah berhasil memblok tembakan penalti David Beckham, saya melihat jarum jam,” katanya dalam konferensi pers. “Masih ada harapan bagi Prancis. Pengalaman bertahun-tahun lah yang memberi kita keyakinan dalam hati. Jika ada waktu maka ada harapan.”

Loncatan akrobatik Barthez pada menit 78 melawan Inggris itu memang seperti menjadi titik balik, atau setidaknya tambahan semangat ketika Zidane dan kawan-kawan sudah nampak frustrasi berkali-kali gagal menembus pertahanan Sol Campbell.

“Saya pecaya pada naluri,” kata Barthez. “Dalam tendangan penalti, seorang kiper membutuhkan 90% keberuntungan dan 10% keyakinan untuk bisa menyelamatkan gawangnya.”

Penalti, kata Barthez, juga seperti permainan poker. “Permainan yang penuh gertak sambal. Saya lihat Beckham sengaja melirik ke sisi kiri saya seolah-olah dia akan menendang bola ke situ. Tapi, saya sudah memutuskan untuk memblok bola ke arah lain. Sekali diputuskan, kita tak boleh ragu. Dan beruntung saya benar.”

Keberuntungan dan keyakinan. “Metode dan teori tidak banyak membantu dalam situasi seperti itu.”

Namun, bahkan setelah tindakan penyelamatan yang gemilang itu, Barthez akan selalu menemukan keseimbangan baik di dalam sukses maupun kegagalan, di dalam kiritik maupun pujian, buah dari ajaran Zen: “Menghadapi kesulitan beroleh nasib baik, menghadapi persetujuan menerima tentangan.”***

Monday, July 12, 2004

Tikungan Tragis dan Pahit

Seperti plot drama Shakespeare, pertandingan itu
berakhir dengan tikungan tak terduga. Tikungan tragis
bagi David Beckham. Di Stadion Estadio da Luz,
tenggorokan supporter Inggris yang siap merayakan
kemenangan prematur tercekik dua gol Zinedine Zidane
di menit akhir pertandingan yang penuh drama dan
ironi.

Ironis. Terakhir kali ketika sebuah tim Inggris
terlibat dalam pertandingan dramatis yang menikung
seperti itu, mereka menang. Yakni lima tahun lalu
ketika Manchester United menggondol Piala Champions
setelah membungkam Bayern Munich dengan dua gol di
injury-time (Beckham dan Gary Neville berbagi
gol). Tapi di Estadio da Luz kemarin, wajah pemain
Inggris hanya bisa menirukan mimik ala zombie yang
diperlihatkan Oliver Kahn setelah peluit panjang
berbunyi lima tahun lalu. Terkejut. Pilu. Pahit.

Hal yang menyakitkan bagi Inggris justru bukan
kekalahan itu sendiri. Tapi, fakta bahwa mereka
sebenarnya bisa menang melawan tim Prancis yang lebih
tangguh--setidaknya jika pertandingan benar-benar
hanya berlangsung 90 menit.

Gambar tayang ulang pertandingan itu akan menghantui
tim asuhan Sven-Goran Eriksson, yang efeknya tak mudah
diatasi. Dengan pengalaman traumatis malam itu, dan
tekanan besar untuk menang, kini orang bertanya:
mampukah Inggris mengungguli dua tim anak bawang Swiss
dan Kroasia untuk setidaknya menjadi runner-up grup
dan lolos ke delapan besar?

Bagaimanapun, lagu kebangsaan Marseillaise
memang layak diperdengarkan. Hampir sepanjang
pertandingan Prancis telah memaksa Inggris kehilangan
kepribadiannya. Mana ada Inggris bermain
cattenacio seperti malam itu?

Dan akhirnya, pertandingan malam itu hanya
menggarisbawahi trend sepakbola yang telah lama
berlaku. Dengan popularitasnya yang luar biasa di
seluruh dunia, sepakbola adalah warisan kolonialisme
Inggris yang paling sukses dan paling bertahan lama.
Tapi, kekalahan tim Inggris malam itu menunjukkan
betapa episentrum kekuatan sepakbola telah lama
bergeser dari London.

Di bawah Eriksson, Inggris memang mencoba bangkit.
Tapi, pengamat sepakbola Inggris mengkritik Eriksson
hanya peduli merekrut pemain bintang, bukannya
membangun tim yang berkarakter. Pengamat lain
menyarankan bahwa sepakbola Inggris hanya bisa
diperbaiki lewat perubahan politik.

Politik? Penyatuan Eropa dipandang telah mengilhami
deregulasi tranfer pemain, yang dilakukan Inggris
dengan sangat liberalnya. Banjir pemain asing di Liga
Utama, misalnya, telah dianggap membunuh bakat lokal.
Hasilnya: karakter kesebelasan Inggris hilang,
prestasinya merosot.

Penganut "teori politik" itu kini punya peluang.
Secara kebetulan, Piala Eropa pekan ini
diselenggarakan hampir bersamaan dengan pemilihan umum
serentak di 25 negeri untuk memilih anggota Parlemen
Eropa. Di Inggris, perolehan suara kandidat Partai
Buruh-nya Tony Blair turun drastis. Dengan perang
ilegal di Irak, Blair telah terbukti melukai dirinya
sendiri seperti Heskey mengganjal secara tidak perlu
Makalele, melempangkan jalan Zidane mencetak gol, atau
seperti Gerard membuat blunder lewat back-pass
yang tidak diperhitungkan matang.

Turunnya suara Partai Buruh melempangkan jalan
kandidat Partai Independence, yang dikenal kritis
terhadap penyatuan Eropa (Eurosceptic). Partai
baru itu tidak akan segera menarik Inggris untuk
keluar dari Uni Eropa. Tapi, mereka bisa mengganjal
peraturan yang terlalu liberal, serta mencegah Inggris
menyerah total pada penyeragaman—termasuk dalam urusan
sepakbola.

Meski secara ekonomi tidak menguntungkan dan secara
sosial bisa menumbuhkan gelombang rasisme, Inggris
yang terisolasi mungkin hanya cara yang bisa dilakukan
agar suatu ketika kelak bisa lebih bicara di stadion-stadion internasional.

Kelak. Bukan dalam turnamen Portugal ini.***

Syukur

43 tahun merambah bumi. Tiada yang lebih nikmat dari kesehatan.

Monday, June 21, 2004

Tragedi Nirmala Bonat

Kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat hanya puncak
gunung es dari problem yang dihadapi tenaga kerja
Indonesia di luar negeri. Dan meski penganiayaan itu
melibatkan unsur kriminal majikannya di Malaysia,
problem utama sebenarnya terletak pada Pemerintah
Indonesia—-khususnya Departemen Tenaga Kerja dan
Departemen Luar Negeri. Kinerja Pemerintah Indonesia
dalam melindungi warga negaranya yang berkeja di luar
negeri masih terlalu minimal.

Kasus Nirmala mendominasi pemberitaan media baik di
Malaysia maupun Indonesia akhir pekan ini. Koran di
Malaysia sendiri menyebut ini sebagai salah satu kasus
paling brutal yang menimpa tenaga kerja asal
Indonesia.

Kasus ini menarik mengingat peristiwanya terungkap
hanya dua pekan setelah Menteri Tenaga Kerja Indonesia
Jacob Nuwa Wea menandatangani nota kesepahaman dengan
rekannya dari Malaysia, Datuk Wira Fong Chan Oan,
tentang penempatan tenaga kerja Indonesia di Malaysia.
Nota kesepahaman itu dianggap sebagai “landmark”, atau
sebuah perjanjian penting, yang meliputi perlindungan
lebih baik terhadap tenaga kerja kita.

Kita berharap nota kesepahaman itu bisa memberi
keadilan kepada Nirmala, dan mencegah peristiwa serupa
berulang. Namun, upaya jauh lebih besar nampaknya
harus dilakukan pemerintah dari sekedar membuat
perjanjian bilateral dan menuntut negeri lain
melindungi tenga kerja kita. Tanggungjawab utama
perlindungan tenaga kerja terletak pada pemerintah
kita sendiri—-eksekutif maupun legislatif. Beberapa
kasus belakangan ini menunjukkan pemerintah belum
berbuat serius.

Pengakuan Nirmala menunjukkan bahwa layanan yang
paling dasar pun sebenarnya belum dipenuhi. Nirmala
mengaku telah memperoleh pengakuan buruk sejak
beberapa bulan lalu, namun “tidak tahu kemana harus
mengadu”. Ini artinya dia, dan juga banyak tenaga
kerja lain, tidak dibekali pengetahuan dasar yang
memadai tentang hak-haknya sebelum berangkat.

Jangankan pengetahuan dasar. Kasus lain menunjukkan
bahwa instansi yang paling berwenang, yakni Direktorat
Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum
Indonesia, Departemen Luar Negeri, tidak punya pusat
informasi dengan data akurat tentang tenaga kerja ini.
Keterlambatan selama berbulan-bulan pengiriman dua
jenasah tenaga kerja Indonesia yang meninggal di
Yordania adalah buktinya.

Lapangan kerja di luar negeri jelas membantu
Pemerintah Indonesia yang kini dihadapkan pada
tinggginya tingkat pengangguran di dalam negeri.
Tenaga kerja yang keluar juga menjadi sumber devisa
lewat pajak yang disedot dari keringat mereka. Meski
mereka umumnya pekerja rendahan, menjadi pembantu
rumah tangga misalnya, mereka sebenarnya layak disebut
pahlawan. Tapi, perlakukan pemerintah kita terhadap
mereka masih sangat buruk.

Tidak hanya pemerintah dari sayap eksekutif yang harus
bekerja keras. Para anggota dewan pun mesti lebih
peduli. Para wakil rakyat itu mesti segera menuntaskan
pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri. Selama ini,
pengaturan pengaturan penempatan mereka hanya
didasarkan pada Keputusan Menteri atau perjanjian
bilateral setingkat menteri belaka.***

Tuesday, May 04, 2004

Mencegah Pemilihan Presiden Mubazir

Pacuan menuju kursi presiden mulai panas. Dalam
beberapa pekan terakhir, media-massa dipenuhi oleh
gemuruh langkah politik para kandidat presiden mencari
pasangannya. Namun, dalam gemuruh itu kita melihat
figur menjadi aspek yang terlalu mengemuka—bahkan
terlalu dominan--dibanding program pemerintahan yang
ditawarkan para kandidat.

Sangat disayangkan. Seperti ditunjukkan oleh berbagai
jajak pendapat, figur memang lebih “seksi” dari
program atau platform politik. Namun, obsesi
berlebihan pada figur sesungguhnya akan menindas
perhatian kita kepada aspek terpenting dari pemilihan
itu sendiri: sebuah sarana pendidikan demokrasi.

Demokrasi bukan sistem yang sempurna, tapi merupakan
cara terbaik untuk merumuskan harapan kolektif sebuah
bangsa. Kualitas harapan kolektif itu sangat
tergantung kepada kualitas kesadaran setiap warga
negara untuk memilih secara rasional. Tanpa
pertimbangan rasional, publik pemilih cenderung
disusutkan menjadi kerumunan yang seperti buih,
terombang-ambing oleh sekadar pesona individu atau
ketrampilan marketing para juru kampanye.

Pemilu 2004 semestinya bisa menjamin kualitas
demokrasi lebih baik. Pemilu kali ini adalah tonggak.
Untuk pertama kalinya negeri ini akan memilih secara
langsung presidennya. Meski konstitusi Indonesia sejak
merdeka menganut sistem presidensial, selama ini
presiden dipilih oleh parlemen (DPR/MPR), mirip di
negeri-negeri bersistem parlementer. Sistem pemilihan
langsung seperti ini dipandang lebih bagus, setidaknya
mengakhiri sistem “banci” presidensial vs parlementer
yang dulu telah memunculkan sejumlah masalah.

Dengan presiden dipilih langsung diharapkan muncul
pemerintahan yang lebih efektif. Lembaga presiden
memiliki legitimasi sama kuat dengan parlemen.
Presiden bisa memilih menteri yang lebih kompeten dan
profesional, tanpa harus menghiraukan menteri yang
disodorkan partai. Presiden juga bisa merumuskan
program yang lebih fokus dan menunaikannya secara
konsisten tanpa harus terlalu berkompromi dengan suara
beragam partai-partai. Dalam konteks kita sekarang,
presiden seperti ini bisa diharapkan lebih efektif
membawa bangsa ini keluar dari krisisnya yang
multidimensional.

Namun, sayang sekali, makna terpenting dari pemilihan
presiden langsung seperti itu cenderung dilupakan.
Koalisi yang coba dibangun sekarang bukanlah koalisi
demi pemerintahan efektif, kompeten dan profesional,
melainkan koalisi partai-partai pemenang pemilu
legislatif yang justru akan menegatifkan efektifitas.

Melihat langkah politik para kandidat sekarang, kita
layak risau bahwa mereka tidak menyadari legitimisasi
potensial mereka untuk membawa negeri ini keluar dari
krisis. Sangat jarang kita mendengar ada renungan
mendalam dari para kandidat tentang situasi krisis
negeri ini baik secara politik, sosial maupun ekonomi.
Bahkan sangat sedikit pula renungan tentang
sebab-musabab krisis serta pemikiran untuk mencari
jalan keluar.

Saatnya media dan para pengamat kni menarik perdebatan
pemilu ke dataran yang lebih rasional dan substansial
ketimbang hanya pada siapa menjadi presiden dan
wakilnya. Demokrasi adalah proses, tidak semata
hasil.***

Monday, April 19, 2004

Bush-Sharon vs Dunia

Eskalasi kekerasan terus menggemuruh di Timur Tengah,
khususnya Palestina, menyusul pembunuhan Israel atas
pemimpin Hamas Abdel-Aziz al-Rantissi. Dan Presiden
George W. Bush makin jelas ketidakpeduliannya tentang
peran penting pemerintahnya sebagai instrumen
kebrutalan Israel. Makin hari makin jelas, Amerika
memang tidak secara tulus ingin membasmi terorisme;
negeri adikuasa itu telah terlibat sebagai pemberi
restu tindakan terorisme.

Dengan membunuh Al-Rantisi akhir pekan lalu, Israel
telah melenyapkan dua pemimpin Hamas dalam tempo satu
bulan terakhir. Akhir Maret lalu, helikopter Israel
sudah mengirim rudal yang lain untuk meluluhlantakkan
tubuh Sheik Ahmad Yassin, pemimpin spiritual Hamas, di
atas kursi rodanya.

Seperti pembunuhan Sheik Yassin, pembunuhan kali ini
pun memicu protes dari seluruh penjuru dunia—kecuali,
seperti biasa, dari Pemerintah Amerika Serikat. Ini
memberi kesan yang mencolok, seperti ditunjukkan oleh
pernyataan Liga Arab, bahwa Amerika memang mendukung
secara diam-diam kebijakan pembunuhan politik ini.

Bagi Dunia Arab, sikap Presiden Bush lebih menyakitkan
lagi. Tak hanya bungkam terhadap kebrutalan Israel.
Hanya beberapa hari sebelum pembunuhan itu, dia
menyetujui rencana Perdana Menteri Ariel Sharon untuk
menarik diri dari Gaza namun tetap mengangkangi
sejumlah permukiman Yahudi di Tepi Barat yang dicaplok
pada Perang 1967. Rencana itu jelas merupakan
penyelewengan terhadap pembentukan negeri Palestina
merdeka.

Dari sudut pandang Presiden Bush, hal yang paling
penting nampaknya adalah bagaimana memenangkan pemilu
presiden tahun ini. Mengkritik Israel berarti “bunuh
diri politik”, kehilangan suara lobi asing paling
dominan di negeri itu.

Tapi, ini juga memunculkan dilema bagi Presiden Bush
di sisi lain. Persetujuannya diam-diam terhadap
langkah brutal Israel telah menjauhkannya dari
Inggris, sekutu utamanya di Irak yang kini situasinya
makin tak menentu.

Dalam pernyataan resminya, Downing Street, Kantor
Perdana Menteri Tony Blair, mengutuk pembunuhan itu
sebagai “ilegal, tidak bisa dibenarkan dan
kontra-produktif”. Para pejabat Inggris marah melihat
betapa telanjangnya Amerika berdiri di pihak Israel,
terutama ketika ketegangan di Palestina akan sangat
mudah merembet ke Irak, tempat banyak prajurit Inggris
terancam di lapangan.

Perilaku Israel juga mencederai visi Tony Blair
tentang Timur Tengah yang dikemukakannya dalam
konferensi Partai Buruh dua tahun lalu: proses
perdamaian Timur Tengah harus diukur dari adanya
“sebuah negeri Israel yang bebas dari teror dan diakui
Dunia Arab, serta negeri Palestina yang layak
berdasarkan batas sebelum tahun 1967.”

Melihat perkembangan terakhir ini, nampak jelas bahwa
Amerika makin terisolasi dalam kebijakan Timur
Tengahnya yang tanpa syarat mendukung perilaku brutal
Israel itu. Tak hanya membuat ketegangan makin runcing
di Palestina, sikap Amerika ini memicu amarah yang
bisa membakar seluruh Timur Tengah, termasuk kawasan
Teluk Persia, dalam bentuk terorisme yang kian tak
terkendali.***

Tuesday, January 20, 2004

Gong Xi Fa Cai

Imlek adalah satu dari berbagai khasanah yang kita
temukan kembali berkat reformasi. Bersama segenap
tradisi Tionghoa dan Konghucu lainnya, perayaan ini
lama terkubur--setidaknya secara publik--akibat stigma
masa silam yang gelap. Munculnya kembali perayaan ini
ke tengah publik patut kita syukuri. Namun, itu
barangkali tidak banyak maknanya jika secara kolektif
kita masih menganut pandangan lama tentang hubungan
antar ras dan agama di negeri ini.

Setelah Idul Fitri, Natal, Nyepi, dan Waisak, perayaan
ini telah menegaskan betapa warna-warninya Indonesia.
Gebyar perayaan Imlek hari-hari ini menegaskan betapa
membanggakan sebenarnya negeri kita--kaya akan
keragaman budaya, ras dan agama. Tidak ada harapan
lebih baik bagi kita semua bahwa keragaman itu--yang
di masa lain dan di tempat lain cenderung menjadi
sumber konflik--justru bisa menjadi sumber kekuatan
kita di masa depan.

Mungkinkah harapan seperti itu diwujudkan? Dari
pengalaman masa lalu dan di berbagai belahan dunia,
kita harus mengakui, tidaklah mudah sebuah masyarakat
yang sangat majemuk bisa mengerahkan energi bersama
dalam sebuah persatuan yang saling menguatkan. Sejarah
umat manusia dipenuhi oleh konflik, seringkali
berdarah, antar ras dan agama. Hubungan antara yang
mayoritas dan yang minoritas hampir senantiasa menjadi
bahan bakar tragedi di mana-mana--di Irlandia,
Spanyol, Rusia, dan Yugoslavia.

Tak mengherankan jika hanya sedikit saja negeri di
dunia yang berisikan aneka ragam suku dan agama.
Selain Amerika Serikat, Indonesia mungkin adalah satu
negeri paling majemuk yang ada di muka bumi ini.

Seperti Amerika Serikat dengan minoritas kulit
hitamnya, Indonesia juga punya masalah dengan
minoritas Tionghoa--meski dengan asal-usul dan
manifestasi yang berbeda. Bahkan lima tahun setelah
reformasi, baik mayoritas pribumi maupun minoritas
Tionghoa masih harus secara jujur mengakui bahwa ada
soal di antara mereka. Bahkan reformasi 1998 ditandai
dengan ledakan peristiwa rasial yang memiriskan.

Kecurigaan dan prasangka masih besar, bahkan hingga
kini. Salah satu yang mencolok: minoritas Tionghoa
masih merasakan diskriminasi sistematis, sementara
mayoritas pribumi merasa termarjinalkan secara
ekonomi.

Namun, setidaknya setelah reformasi, kita bisa lebih
leluasa untuk membicarakan soal-soal rasial yang dulu
hanya bisa dibicarakan di balik pintu tertutup.
Reformasi juga menawarkan peluang bagi minoritas
Tionghoa untuk mengartikulasikan aspirasi politik,
budaya, dan sosial dengan lebih baik. Minoritas
Tionghoa menerima berkah dari disintegrasi politik
yang dibawa oleh proses demokratisasi, yang terbukti
tidak seluruhnya bersifat negatif.

Jika persatuan sejati ingin dibangun, langkah pertama
yang harus dilakukan justru mengakui adanya perbedaan.
Kebijakan mengganti nama Tionghoa dengan nama
Indonesia, serta mengebiri tradisi Tionghoa, hanya
melahirkan pembauran semu. Perbedaan yang dikubur
dalam-dalam justru hanya menjadi magma yang
sewaktu-waktu siap meledak.

Hanya jika minoritas Tionghoa menerima hak-hak sipil
(politik, budaya dan sosial) yang sepadan, maka
mayoritas pribumi bisa menagih tanggungjawab politik,
sosial dan ekonomi yang sepadan pula.***