Tuesday, May 04, 2004

Mencegah Pemilihan Presiden Mubazir

Pacuan menuju kursi presiden mulai panas. Dalam
beberapa pekan terakhir, media-massa dipenuhi oleh
gemuruh langkah politik para kandidat presiden mencari
pasangannya. Namun, dalam gemuruh itu kita melihat
figur menjadi aspek yang terlalu mengemuka—bahkan
terlalu dominan--dibanding program pemerintahan yang
ditawarkan para kandidat.

Sangat disayangkan. Seperti ditunjukkan oleh berbagai
jajak pendapat, figur memang lebih “seksi” dari
program atau platform politik. Namun, obsesi
berlebihan pada figur sesungguhnya akan menindas
perhatian kita kepada aspek terpenting dari pemilihan
itu sendiri: sebuah sarana pendidikan demokrasi.

Demokrasi bukan sistem yang sempurna, tapi merupakan
cara terbaik untuk merumuskan harapan kolektif sebuah
bangsa. Kualitas harapan kolektif itu sangat
tergantung kepada kualitas kesadaran setiap warga
negara untuk memilih secara rasional. Tanpa
pertimbangan rasional, publik pemilih cenderung
disusutkan menjadi kerumunan yang seperti buih,
terombang-ambing oleh sekadar pesona individu atau
ketrampilan marketing para juru kampanye.

Pemilu 2004 semestinya bisa menjamin kualitas
demokrasi lebih baik. Pemilu kali ini adalah tonggak.
Untuk pertama kalinya negeri ini akan memilih secara
langsung presidennya. Meski konstitusi Indonesia sejak
merdeka menganut sistem presidensial, selama ini
presiden dipilih oleh parlemen (DPR/MPR), mirip di
negeri-negeri bersistem parlementer. Sistem pemilihan
langsung seperti ini dipandang lebih bagus, setidaknya
mengakhiri sistem “banci” presidensial vs parlementer
yang dulu telah memunculkan sejumlah masalah.

Dengan presiden dipilih langsung diharapkan muncul
pemerintahan yang lebih efektif. Lembaga presiden
memiliki legitimasi sama kuat dengan parlemen.
Presiden bisa memilih menteri yang lebih kompeten dan
profesional, tanpa harus menghiraukan menteri yang
disodorkan partai. Presiden juga bisa merumuskan
program yang lebih fokus dan menunaikannya secara
konsisten tanpa harus terlalu berkompromi dengan suara
beragam partai-partai. Dalam konteks kita sekarang,
presiden seperti ini bisa diharapkan lebih efektif
membawa bangsa ini keluar dari krisisnya yang
multidimensional.

Namun, sayang sekali, makna terpenting dari pemilihan
presiden langsung seperti itu cenderung dilupakan.
Koalisi yang coba dibangun sekarang bukanlah koalisi
demi pemerintahan efektif, kompeten dan profesional,
melainkan koalisi partai-partai pemenang pemilu
legislatif yang justru akan menegatifkan efektifitas.

Melihat langkah politik para kandidat sekarang, kita
layak risau bahwa mereka tidak menyadari legitimisasi
potensial mereka untuk membawa negeri ini keluar dari
krisis. Sangat jarang kita mendengar ada renungan
mendalam dari para kandidat tentang situasi krisis
negeri ini baik secara politik, sosial maupun ekonomi.
Bahkan sangat sedikit pula renungan tentang
sebab-musabab krisis serta pemikiran untuk mencari
jalan keluar.

Saatnya media dan para pengamat kni menarik perdebatan
pemilu ke dataran yang lebih rasional dan substansial
ketimbang hanya pada siapa menjadi presiden dan
wakilnya. Demokrasi adalah proses, tidak semata
hasil.***